Tiga Babak Pendewasaan Hidup.

Wawan Prasetyo
3 min readNov 19, 2023

--

Pendewasaan adalah proses yang menyenangkan meski kadang menakutkan. Pada prosesnya, kita akan mendapat banyak pelajaran.

Tulisan ini bercerita proses pendewasaan saya dalam 3 babak.

Babak Pertama:

Babak ini berlangsung selama 6 tahun (SMP-SMA)

Saya mulai suka mencicipi lingkungan baru sejak SMP. Saat itu, saya merupakan satu-satunya siswa dari sekolah dasar di kecamatan A yang bersekolah di kecamatan B.

“Merantau” kecil itu menumbuhkan berbagai ruang bagi saya, terutama pertemanan. Semua teman yang saya dapatkan di SMP notabene adalah orang baru. Untungnya, adaptasi berlangsung cepat.

Perantauan selanjutnya adalah sekolah SMA berasrama lintas kabupaten. Saat di asrama, saya “terpaksa” tidak menggunakan hape. Mencuci, menyiapkan baju juga dilakukan secara mandiri. Babak Pertama pendewasaan diri dimulai dari sana, sebab sebelumnya saya selalu mengandalkan mama untuk berbagai hal. Disana juga dibiasakan untuk rajin beribah: berpuasa, sholat sunnah, menghafal Al-Quran, dll.

Salah satu tahun terbaik dalam hidup adalah masa tersebut. Saat itu, saya juga mengeksplorasi diri dengan gigih. Mengikuti berbagai kompetisi, kejuaraan dan olimpiade serta terlibat aktif pada berbagai organisasi. Yang kemudian saya sadari bahwa itulah fondasi awal untuk kehidupan yang sedang dikuatkan hari ini.

Pada babak ini saya dapati 2 quotes berharga dari ayah dan guru saya.

“Investasi terbaik adalah teman”

“Doing good as investment”

Photo by Anoushka Puri on Unsplash

Babak Kedua

Babak ini berlangsung selama 4–5 tahun dan menjadi salah satu yang tersulit.

Meskipun masih di Indonesia, namun saya harus belajar banyak sekali hal dalam sosial budaya Sunda, Jawa Barat. Mulai dari makanan, bahasa, kebiasaan, iklim. Berbagai hal menarik saya temukan seperti “mengapa orang disini jarang sekali menggunakan klakson selama berkendara?”

Pada babak ini, lagi-lagi saya tidak memiliki kawan dari sekolah yang sama di kampus. Hal itu yang kemudian jadi dasar bagi saya untuk mengikuti berbagai kegiatan dan organisasi yang beragam. Himpunan mahasiswa, kelompok ekonomi syariah, koperasi mahasiswa, catur, futsal, berbagai kegiatan sosial dan perlombaan saya ikuti.

Tujuannya 1: mendapatkan teman.

Babak ini mengajarkan saya untuk berjuang sebagaimana pesan Sutan Sjahrir “Hidup yang tidak diperjuangkan tidak pernah layak untuk dimenangkan”

Meskipun babak kedua memperkuat proses pendewasaan babak pertama, saya merasa banyak sekali area yang harus diperbaiki. Saya masih ingat bagaimana diri ini memiliki perwatakan tidak sabaran, cenderung membandingkan diri bahkan tingkat emosi yang kurang stabil.

Dan saya harus terus berjuang melawan itu.

Babak Ketiga

Inilah babak terbaik.

Proses dimana saya didewasakan oleh sebuah momen sakral. Sebuah janji kepada Allah SWT untuk menanggung segala perilaku, tindak tanduk dan lisan ciptaan-Nya. Menikah.

Meskipun ini bukan babak terakhir dalam proses pendewasaan. Namun, menikah di usia 23 tahun dengan berbagai kondisi yang jauh dari kata sempurna. Hal itu pula yang mendorong untuk terus belajar menikmati perjalanannya.

Menikah berarti mengikat diri. Menyepakati aturan bersama.

Photo by Jonathan J. Castellon on Unsplash

Tidak pernah terbayangkan bahwa saya akan hidup bersama seseorang yang akan mengalah demi banyak hal, begitu pun dengan saya.

Babak ini yang kemudian menyadarkan bahwa terhitung sejak ijab kabul, maka sejak itu pula saya harus menjaga seluruh tindak tanduk. Semuanya beralasan, bahwa apa yang saya lakukan dan dapatkan akan berpengaruh terhadap pasangan hidup saya.

Pelan-pelan dan satu-satu akhirnya saya mulai belajar untuk lebih sabar, mengutamakan kepentingan pasangan, mengupayakan kesenangan dan kebahagiaannya hingga berjuang mempersiapkan masa depan untuknya yang lebih baik.

Tentu perjalanan saya masih sangat panjang. Prosesnya juga melelahkan. Namun saya selalu sepakat bahwa pasangan adalah cerminan diri. Senangnya menjadi bahagia saya, dan sedihnya menjadi duka.

Tentu masih banyak alasan lainnya mengapa ini proses terbaik dan paling cepat dalam mendewasakan diri. Sepanjang apapun jalannya, saya selalu berpikir dan merasakan bahwa pasangan pun melewati jalan yang tidak mudah baginya, dan dia berjuang lebih sulit dari yang kita bayangkan.

Sedikit banyaknya pada babak yang masih berlangsung ini, saya mulai lebih sabar, lebih banyak mengalah dan mengedepankan kepentingan bersama dan cenderung tidak mengeluh. Dan itu adalah cerminan, sebab dia justru melakukan hal yang lebih baik dari itu.

Saya semakin percaya bahwa tidak ada proses yang mudah. Proses pendewasaan satu dengan yang lain tentu berbeda. Namun bagi saya dan mungkin sebagian lainnya bisa bersepakat bahwa menikah adalah salah satu proses pendewasaan paling signifikan dalam hidup.

Anyway, saya menganut konsep workshop dalam pernikahan. Jika saya rajin “work”, maka pasangan bisa “shop” :)

--

--

Wawan Prasetyo

Mencari makna hidup sambil berkarya di Yayasan Hasnur Centre. Temukan saya di @wawprasetyo