Namanya Gejala, Bukan Masalah.

Wawan Prasetyo
3 min readMar 14, 2023

Hidup di era keberlimpahan menciptakan berbagai pilihan-pilihan baru dalam hidup. Misalnya, tempo dulu mungkin alternatif hiburan kita hanya televisi. Namun, sekarang medianya sangat beragam. Kendati demikian, sebenarnya “konten” kehidupan itu-itu saja. Sesekali tertawa, sesempatnya menangis. Ada waktunya bahagia, ada momennya bersedih.

Biasanya momen-momen emosional tergantung pada kejadian yang kita hadapi. Kejadian biasanya berkaitan erat dengan ujian, persoalan atau permasalahan yang hadir dalam hidup.

Kali ini saya ingin bercerita tentang bagaimana seharusnya kita melihat ujian hidup berupa gejala dan masalah.

Bahagia itu satu paket dengan tidak bahagia. Karena ya begitulah hidup. Kita tidak pernah tau rasanya manis kalau tidak pernah mencicipi pahit. Kita tidak pernah tau bagaimana rasanya kehangatan kalau kita tidak pernah terpapar dengan rasa dingin.

Bagaimana kemudian kita belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari berbagai kejadian dalam hidup?

Photo by Farzad Mohamadi on Unsplash

Jawaban adalah bahwa semua akan sangat bergantung dengan bagaimana kita mendefinisikan suatu kejadian. Ada yang menganggap hujan sebagai masalah, namun bagi penjaja gorengan dan payung itu merupakan berkah. Bagi pengendara motor, kebocoran ban adalah hal yang tidak menyenangkan. Namun bagi abang tambal ban, itulah potensi penghasilan untuk menghidupi keluarga.

Saya ingin bercerita bahwa keputusan kita dalam melihat masalah akan menentukan cerita hidup. Mari kita kupas kulitnya saja bagaimana membedakan gejala dan masalah.

Saya ingin memulainya dari contoh yang kontekstual dan relevan bagi mayoritas orang. Pada dasarnya kita menganggap banjir merupakan suatu masalah. Ya, memang betul. Karena banjir menyebabkan ongkos kerugian material: rumah terendam, penyakit pasca banjir, hingga kerugian omset usaha.

Namun, sebenarnya banjir bukanlah masalah. Setidaknya bukan masalah utama melainkan hanya “gejala”. Ketika melihat banjir sebagai masalah, artinya kita tidak terbuka untuk mengetahui penyebab utamanya. Bisa jadi masalahnya karena buang sampah di sungai, curah hujan ekstrem atau climate change.

Photo by Piyush Priyank on Unsplash

Melihat sesuatu hingga ke akar masalah akan mendorong kita menjadi orang yang berpikir dalam jangka panjang. Sehingga dari sana lahir kebijaksanaan. Kemudian kita sadar bahwa banjir hanyalah gejala dari misalnya buang sampah sembarang di sungai. Dan, pada akhirnya kita terdorong untuk melakukan perbaikan secara konsisten dan berjamaah.

Saya ceritakan satu contoh lagi yang mungkin sangat relevan bagi kaum adam. Kita sering kebingungan ketika pasangan bete karena ketidakmampuan kita mendefinisikan kata “terserah” ketika mengajak makan. Bahkan tidak jarang kita mendadak harus “meramal” apa yang disukai dan diingini pasangan kita.

Padahal sebenarnya, bisa saja hal tersebut merupakan gejala karena kita yang tidak cukup peka. Ketidakpekaan kita terhadap makanan yang disukai, tempat yang ingin dikunjungi atau bahkan sesimpel afirmasi positif dan pujian sederhana yang ia butuhkan.

Bayangkan kalau kita selalu menganggap hal tersebut sebagai masalah. Pikiran kita akan terjebak dan menganggap bahwa pasangan kita tidak menyenangkan. Padahal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk lebih banyak mempelajari pasangan kita: karakter, kesukaan, minat hingga hal-hal yang dihindari.

Photo by Djamal Akhmad Fahmi on Unsplash

Jangan sampai kita terjebak pada overconfidence bias, sebuah bias ketika kita menganggap diri lebih berpengalaman menghadapi pasangan dan selalu berhasil dalam menyelesaikan masalah-masalah sederhana. Pada akhirnya kita terjebak dalam “merasa ahli” padahal itu hanyalah ilusi, bias.

Memang tidak mudah untuk membedakan gejala dan masalah. Namun, kita diberikan aset terbesar oleh-Nya yaitu akal budi untuk terus memikirkan cara-cara dalam menggali akar masalah.

Akhirnya, filterisasi membedakan gejala dan masalah perlu terus biasakan. Semoga kita senantiasa belajar menjadi manusia yang memikirkan upaya perbaikan terus-menerus dalam waktu jangka panjang.

--

--

Wawan Prasetyo

Mencari makna hidup sambil berkarya di Yayasan Hasnur Centre. Temukan saya di @wawprasetyo