Tulisan untuk Pendampingku, Kelak.

Wawan Prasetyo
2 min readJan 3, 2021

--

Waktu SMA dulu aku sering dipesani ibu guru kalau aku harus sering-sering berbicara dengan diriku sendiri. Tidak hanya menuliskan cita dan mimpi dalam aksara, tetapi juga melisankannya.

Hal itu akhirnya menjadi kebiasaan. Alasannya adalah untuk memberikan penguatan positif maupun negatif kepada alam bawah sadarku. Ketika aku menceritakan tentang pencapaianku, aku selalu mengatakan bahwa sering-seringlah melisankan apa yang ingin kau capai.

Suatu pagi pernah aku melisankan kepada sahabatku Iqbal “akan ada waktunya aku berdiri disana memegang piala juara 1 olimpiade ekonomi”. Yang aku lisankan itu terjadi. Dan semakin kesini Allah sering menuruti dan meng-amin-kan lisanku.

Beberapa bulan ini, aku menjalani hari-hari yang kering dan penuh kegundahan. Meskipun sebenarnya hanya diri ini saja yang malas dan lemah. Hingga akhirnya Sutradara Alam Semesta ini membuat skenario yang menampilkan satu manusia dengan karakter kebaikan tanpa tebang pilih dalam hidupku.

Manusia itu membuatku jatuh hati. Hingga akhirnya memutuskan untuk menyayanginya.

Aku memutuskan untuk menempuh jalan juang yang sebenarnya tidak mudah. Namun, tidak ringan hati untuk menceritakan juang itu dalam tulisan ini. Biarlah angin yang berbisik kepada setiap gendang telinga yang ingin mendengarnya.

Aku sering melisankan namanya. Iya namanya. Dalam diam dan sibukku. Dalam doa dan tidurku. Aku hanya menerapkan pesan guruku untuk melisankan segala harap dan inginku, yang kata beliau dapat memberikan kekuatan untuk alam bawah sadar.

Sebenarnya, terkadang aku merasa bingung. Apa kegiatan melisankan ini hanya untuk alam bawah sadarku. Atau sebenarnya ada alasan lain kah. Dan akhirnya aku menemukan satu lagi jawabannya setelah membaca Yang Fana Adalah Waktu-nya Sapardi Djoko Damono. “Kalian harus terus menerus keras-keras melisankan rumus agar bisa mendengar suaramu sendiri, katanya selalu. Kalian tidak akan mudah melupakan apapun yang kalian dengar, apalagi yang kalian ucapkan sendiri”

Aku membacanya dengan seksama. Berulang-ulang. Memperhatikannya bait per bait. Lembar ke lembar. Akhirnya aku menyadari satu hal. Melisankan namamu menyadarkan aku bahwa kau bukan hanya makhluk kasat mata, kau adalah bunyi.

Selama ini aku melisankanmu dengan rutin dan nyaring adalah upaya untuk menjadikanmu sebagai bunyi. Sebab ketika dipisahkan oleh jarak, aku tetap mampu merasakan suaramu meskipun tak berpandang mata.

Setelah membaca buku itu membuatku semakin tersadar, bahwa kau bukan hanya sekedar susunan aksara. Kau adalah bunyi. Dan aku selalu bisa mendengarmu meskipun tak menatap mata itu. Seberapa kuat aku memejamkan mata, aku tetap mendengarmu karena begitu tertanam namamu di gendang telingaku.

Melisankanmu menyuntikan rasa semangat. Karena setiap momen apapun yang aku lewati, dirimu menjelma menjadi bunyi. Memanggil-manggil dan menampakkan diri.

Rasanya, kebiasaan ini ingin aku jadikan sebuah pembudayaan kehidupan.

Melisankanmu, membuat aku sadar bahwa sebenarnya kita tidak pernah berjauhan. Aku mendengarmu. Karena suaramu bersemayam di pusat kesadaranku.

Melisankanmu, dengan nyaring dan rutin adalah bentuk kepasrahan impiku agar mendapat aamiin dari Sutradara Semesta Alam. Dan menjadi harapku agar segera ditayangkan skenario terindahnya.

Melisankanmu, merubah aksara menjadi bunyi.

Bunyi yang menyenangkanku. Menenangkanku. Memenangkanku.

Terima kasih ibu guru yang telah memberikan petuah untuk melisankan setiap harap.

Terima kasih eyang Sapardi Djoko Damono yang memvalidasi dan membenarkan hipotesisku.

--

--

Wawan Prasetyo
Wawan Prasetyo

Written by Wawan Prasetyo

Mencari makna hidup sambil berkarya di Yayasan Hasnur Centre. Temukan saya di @wawprasetyo

No responses yet