Bertahan Hidup.

Wawan Prasetyo
4 min readMar 9, 2023

Pandji Pragiwaksono belakangan ini “menghantui” saya. Setidaknya perkataan Pandji yang menurut saya sangat menohok dan relevan bagi perjalanan hidup personal saya.

Pada salah satu podcast, Pandji mengungkapkan bahwa pada dasarnya setiap permasalahan dalam hidup akan selesai pada waktunya. Dan sebagian besar selesai dengan cara yang mungkin tidak kita inginkan, tambahnya.

Pandji berkata bahwa kuncinya satu: bertahan hidup.

Photo by Unsplash.com

Saya kemudian berwisata ke masa lampau. Mengingat lagi rangkaian peristiwa yang tersimpan rapi di inti memori.

Dulu, semasa kanak-kanak saya hanya bercita-cita sebagai pemain sepakbola. Itu karena begitu cinta dan gemarnya saya pada olahraga itu. Namun, setelah saya renungi ternyata bukan itu juga alasan utamanya. Tapi karena saya hidup dalam garis ekonomi dan sosial yang sangat biasa-biasa saja.

Saya tidak berasal dari keluarga yang “dipandang” atau keluarga yang memiliki warisan ekonomi maupun nama baik yang diperhitungkan. Ya artinya memang hidup saya sangat biasa-biasa saja.

Hidup pada level tersebut membuat saya perlu memperpanjang nafas kesabaran. Bagaimana tidak, saya bisa membeli mainan tamiya saja harus menunggu mamah dapat arisan. Bahkan dulu saya harus khitan dulu agar bisa beli yoyo.

Saat bangku SD, saya cukup berprestasi. Selalu masuk peringkat 3 teratas. Saya menyenangi hampir semua pelajaran, kecuali satu. Saya sengaja melupakan mata pelajarannya, namun saya ingat betul momen itu di kelas ketika para siswa diminta untuk menggambar denah rumah.

Waktu itu saya melihat betapa sumringahnya teman-teman saya menggambarkan denah rumah mereka. Mereka melihat gambaran denah satu sama lain. Sedangkan di sudut bangku lain, ada saya yang termenung karena terus memodifikasi denah rumah yang berupa kontrakan kecil dengan hanya satu kamar.

Waktu itu saya bahkan merekayasa kamar mini seolah-olah itu tempat saya tidur, padahal kamar mini itu adalah tempat baju yang setelah dicuci dikumpulkan.

Waktu ke waktu ujian dan permasalahannya semakin bertingkat. Saya mengalami sebagian besar masa SMP tidak mengenakkan, yang mungkin tidak akan dibagikan disini.

Ketika beranjak remaja dan memasuki SMA, saya mulai menyadari bahwa selama ini saya bertahan dari berbagai masalah yang hadir. Bahkan ada beberapa masalah yang saya rasa tidak akan berakhir selamanya, namun pada akhirnya benar-benar berakhir.

Photo by Unsplash.com

Periode SMA banyak saya habiskan dengan mencoba berbagai hal baru: organisasi, kompetisi, lomba, olimpiade, olahraga hingga belajar bahasa jepang. Permasalahan demi permasalahan hadir, tidak sedikit saya menelpon orang tua dari asrama untuk mengisahkan pilu dan lelahnya kehidupan versi remaja. Yang belakangan ini saya sadari bahwa ternyata itu semua belum ada apa-apanya.

Permasalahan yang sedikit “ada apa-apanya” mulai ketika berkuliah. Semester awal saya begitu sulit berbaur dengan teman baru. Meskipun dalam perjalanannya pada akhirnya saya memiliki pertemanan yang cukup luas.

Mata kuliah yang “seram” pun dulu juga terlewati. Meskipun tidak dengan cara yang saya inginkan, yaitu remedial. Termasuk menyelesaikan kuliah dalam waktu yang tidak cepat, 9 semester.

Permasalahan tidak pernah absen. Saya mencicipi kesempatan ketika saya mengurus organisasi kemahasiswaan yang “mewarisi” berbagai masalah termasuk utang piutang tak tertagih. Sampai harus berhadapan dengan notaris dan hukum. Lagi-lagi, semuanya berakhir, setidaknya karena saya dibatasi periode menjabat.

Saya selalu ingat bahwa saya adalah keturunan pertama dari mungkin 7 keturunan ayah dan ibu yang menjadi sarjana. Hal itu pula yang kemudian jadi motif utama bagi saya untuk minimal bisa berkuliah dan menyelesaikannya dengan baik.

Ketika telah menikah pun ujian dan masalah begitu senang melipir ke kehidupan saya. Ada yang berakhir dengan ringkas, ada pula yang padat. Semua benar-benar sesuai porsi waktu dan kapasitasnya.

Bertahan adalah keterampilan hidup yang terus relevan sepanjang waktu sejak zaman es, zaman batu, penemuan pithecanthropus erectus, homo sapiens hingga zaman serba digital.

Bertahan hidup bukan berarti pasrah saja dengan setiap hal yang menimpa. Konteks bertahan hidup yang relevan adalah ketika kita menyadari bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Semuanya akan berakhir pada waktunya.

Dengan cara yang kita inginkan atau dengan cara yang diinginkan-Nya.

Kenapa cukup dengan “bertahan” kita semua bisa menyelesaikan masalah berat dalam hidup?

Dari pengalaman hidup saya, setidaknya ada 3 alasan dan prinsip yang saya percayai.

Pertama, tentu karena kita diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Besar, sehingga tidak akan ada masalah yang lebih besar daripada Tuhan. Sehingga sudah pasti setiap masalah akan berakhir. Sebab dalam janji-Nya “bersama kesulitan ada kemudian, dan bersama kesulitan ada kemudahan”

Kedua, saya ingat pesan Ayah bahwa apa yang saya dapatkan di masa mendatang akan sangat bergantung dengan tindakan saya hari ini. Kalau saja saya dulu memaksakan kehendak dan mengesampingkan sabar, ya mungkin saja hasilnya berbeda.

Ketiga, karena pada dasarnya masalah itu adalah bagian dari hidup yang mungkin tidak terpisahkan. Ada momen ketika kita merasa sedih, duka. Ada pula saat-saat kita merasa bahagia dan tawa.

Dari beberapa berita yang belakangan ramai, sedikit banyaknya mengajarkan saya betapa mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati dan situasi.

Mari menikmati setiap masalah yang hadir dan menghargai setiap bahagia yang terselip di hidup kita.

Hit et nunc, ungkapan romawi yang artinya hadirlah pada saat ini.

--

--

Wawan Prasetyo

Mencari makna hidup sambil berkarya di Yayasan Hasnur Centre. Temukan saya di @wawprasetyo